Mengaktifkan Imajinasi Guru untuk Mengindahkan Implementasi Kurikulum Merdeka
Mengaktifkan Imajinasi Guru untuk Mengindahkan Implementasi Kurikulum Merdeka
Oleh: Ade Munajat Kepala Sekolah SMAN 1 Nyalindung Kabupaten Sukabumi
Kementrian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun ajaran baru Juli 2022
mendatang akan mengimplementasikan kurikulum baru yakni Kurikulum Merdeka.
Kurikulum ini telah diujicobakan pada sejumlah sekolah disejumlah daerah kota
kabupaten di Indonesia sejak awal tahun melalui program sekolah penggerak.
Belakangan, sekolah-sekolah yang di luar projek uji coba didorong untuk
melaksanakannya secara mandiri.
Dalam
pengamatan, hingga saat ini, dapat
diperoleh simpul sementara, bahwa
dihampir semua implementasi kebijakan selalu ditemukan celah distorsi. Tidak terkecuali
implementasi kurikulum merdeka. Celah distorsi akan
dapat terlihat menganga ketika kurikulum
sebagai dokumen dibaca pahami guru menjadi kurikulum sebagai yang ia ingat dalam
memorinya. Distorsi dapat berlanjut ketika kurikulum sebagaimana yang diingat
oleh guru itu menjadi kurikulum operasional yang berlangsung di dalam
ruang-ruang kelas disekolah-sekolah kita.
Sejauh pengamatan hingga saat ini, diperoleh
kesan kuat bahwa distorsi bukan hanya akan ada dalam bayangan pikiran tetapi ia
akan sungguh-sungguh menjadi kenyataan. Pelatihan-pelatihan para kepala sekolah
penggerak, guru-guru penggerak termasuk berbagai organisasi pendidikan yang
didorong menjadi mesin implementasi kurikulum merdeka masih berputar pada
persoalan teknis administrasi seperti penyusunan kurikulum operasional sekolah,
teknis penguatan profil pelajar Pancasila, rumusan teknis capaian pembelajaran
hingga asesmen.
Pelatihan semacam tersebut penting
sebagai penuntun tingkah laku birokrasi kepala sekolah dan guru. Akan tetapi
ketika hal itu menjadi melembaga dan kaku sebagaimana terjadi pada Kurikulum
2013, maka kurikulum akan melahirkan para kepala sekolah dan guru-guru yang partisan.
Para kepala sekolah dan guru akan menjadi pemihak saja bagi kurikulum merdeka.
Diandaikan hal tersebut terus berlanjut tanpa dikoreksi, implementasi kurikulum
ini akan memerangkap guru pada persoalan lama, berupa, guru sibuk mengurus soal
administrasi pembelajaran dan abai pada api semangat sebagaimana dikehendaki
oleh kurikulum baru ini.
Sejatinya kepala sekolah dan guru
harus menjadi bagian dari konsep living
curriculum. Mereka adalah kurikulum yang hidup dan berjalan. Kurikulum
adalah guru. Guru adalah kurikulum. Guru dan kurikulum harus sama sebangun. Hal
itulah yang tampaknya luput dalam mengindahkan implementasi kurikulum hari ini.
Mengaktifkan potensi imajinasi guru
sangat penting untuk mendorong agar guru tidak menjadi partisan. Imajinasi
dalam hal ini adalah kemampuan daya pikir untuk membayangkan dalam angan-angan
bahwa apa yang dilakukan oleh guru dapat mewujud nyata dalam laku sosial anak
pada kehidupan sehari-hari setelah pembelajaran diakhiri di dalam ruang-ruang
kelas. Tanpa mengaktifkan imajinasi guru dengan maksud tersebut, dan hanya
membekali guru dengan pengetahuan teknis administrasi, dapat diduga, tidak akan
pernah lahir guru visioner tranformasional yang meyakini bahwa kehadirannya
sebagai guru akan dapat membelajarkan anak
selanjutnya mewujudnyatakan tujuan kurikulum dari konsep ke realitas
dalam diri anak sebagai penanda identitasnya sebagai guru professional.
Mengaktifkan potensi imajinasi guru
dapat berupa menstimulan akal pikiran guru untuk dapat membayangkan agar anak
terpenuhi rasa ingin tahunya melalui serangkaian proses pencarian yang dilakukan anak di bawah
bimbingan guru. Jembatan untuk sampai pada hal itu dapat saja diajukan
pertanyaan seperti, “apa yang ingin aku ketahui?”, “bagaimana cara agar aku dapat
tahu (memeroleh pengetahuan yang aku inginkan)”, “(pengetahuan) apa yang aku
peroleh?”, “(setelah memeroleh pengetahuan) apa manfaatnya bagiku dengan
pengetahuan yang telah aku peroleh ini?”, “ (lalu membayangkan) bahwa dengan
memeroleh pengetahuan ini, aku akan dapat…”, lalu ujung serangkai pertanyaan
ini adalah “Apa tindakan nyata yang dapat aku lakukan dalam kehidupanku
sehari-hari, hari ini, disini”. dapat juga ditambahkan semacam “laporan
perasaan” selama praksis guna memberi resonansi pada anak bahwa ilmu
pengetahuan yang aku peroleh membuatku menjadi berarti dalam kehidupan sosial
lingkungan dimana aku berada dan bergaul di dalamnya.
Perihal mengaktifkan imajinasi guru
ini harus sacara terus menerus digaungkan dan dievaluasi. Baik pada saat
pelatihan guru, pada saat guru melaksanakan praktik pembelajaran dan assesmen,
serta setelah periode tertentu guru melaksanakan assesmen.
Buah dari aktivasi imajinasi guru
ini, ialah, kurikulum sebagai gagasan akan
menjadi selaras dengan kurikulum sebagaimana diidamkan oleh para
pendesain kurikulum seturut dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana
amanat dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa kita harus mencerdaskan kehidupan bangsa
seraya membangun jiwa dan raganya.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar