Belajar Bukan untuk Ujian
Blog Amin Herwansyah | 11 September 2022
Strategi Nadiem: belajar bukan untuk ujian
Tulisan : Pitoyo Hartono (Facebook : https://www.facebook.com/pitoyo.hartono)
Setelah Nadiem Makarim mengumumkan bentuk baru ujian masuk universitas negeri, di medsos dan mungkin dunia nyata banyak orang berkomentar:
"ngapain belajar kalau nggak muncul di ujian ?"
Ini komentar bodoh dari orang-oran yg tidak mengerti akan esensi pendidikan. Mirip dengan orang-orang bermental budak yang : cuma kerja baik kalau diawasi, mengikuti aturan lalu lintas kalau ada polisi dan berbuat baik karena dicatat malaikat.
Kalau mereka ini orang tua, mereka cuma akan menghasilkan anak-anak yang akan menjadi lebih bodoh lagi.
Saya ingin tanya: "anak-anak anda nggak perlu sekolah kalau nggak ada ujian ?"
Nggak heran, mentalitas budak semacam ini yang menyebabkan banyak orang di Indonesia bergelar tapi nggak terdidik.
Orang belajar bukan karena akan diuji, tapi karena ingin tahu dan ingin bisa terhadap sesuatu yg dia sebelumnya belum tahu atau belum bisa. "Ketahuan" dan "kebisaannya" itu akan menjadi modal hidupnya. Lulus ujian itu cuma implikasi waktu dia sudah bisa.
Saya ambil contoh belajar berhitung dan matematika. Soal-soal matematika yang diajarkan dari SD sampai sekitar kalkulus dasar di semester 2 universitas itu sendiri remeh temeh. Itu soal2 yg sudah terselesaikan ratusan tahun yang lalu. Sekarang juga banyak formula solver di komputer yg dengan cepat dan tepat menyelesaikan persamaan differential dasar. Jadi bisa menyelesaikan soal itu sendiri hampir nggak bernilai apa-apa. Menghapal jawaban atau cara menyelesaikannya lebih bodoh lagi. Pendidikan matematika yg baik, jauh lebih dalam daripada cuma menyelesaikan soal. Yang dididik dalam matematika adalah kemapuan utk berlogika secara sistematis, seperti membuat strategi yg masuk akal utk menyelesaikan soal, membagi soal yang sulit menjadi bagian-bagian yang lebih mudah, melakukan abstraksi dari problem yang nyata menjadi formula yang bisa dimanipulasi, melakukan inferensi ataupun deduksi. Di matematika terapan, yang sangat penting adalah kempuan untuk melakukan analogi: mengubah sudut pandang utk melihat satu persoalan baru dari perspektif lain yang lebih kita kenal. Kemampuan seperti ini cuma bisa didapat kalau kita mengerti esensi, bukan menghapal. Dan kemampuan seperti ini akan berlaku secara universal di dalam kehidupan si pembelajar itu seterusnya, tidak berhenti di saat dia lulus ujian. Ini makna dari belajar. Ini tidak berlaku cuma utk matematika, tapi juga untuk bidang-bidang lain.
Nadiem Makarim, ingin menjadikan kemampuan seperti ini dipunyai oleh anak-anak Indonesia, karena kemampuan seperti ini yang peting untuk berkompetisi di level global. "Pintu masuk" dari strateginya adalah dengan menguji kemampuan ini pada test masuk universitas. Jadi, pelajaran-pelajaran seperti matematika, ekonomi, fisika, biologi itu bukan tidak diujikan, tapi diujikan dalam level yang lebih dalam. Pelajaran-pelajaran itu adalah media untuk mempelajari apa yang saya tulis di atas.
Tentunya ini memerlukan perubahan besar dari isi pendidikan itu sendiri. Kalau selama ini isi pendidikan di Indonesia hapalan-sentris dan ujian-sentris, mulai sekarang harus menjadi esensi-sentris. Departemen pendidikan juga perlu melakukan sosialisasi dengan lebih baik untuk menerangkan isi dan tujuan strategi mereka dan apa strategi untuk pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Jangan cuma mengharap rakyat maklum. Kita ini rakyat, bukan umat yang mau untuk disuruh percaya apa saja.
Progam pendidikan yang baik itu lebih banyak menimbulkan pertanyaan baru dari jawaban. Dengan begitu pembelajar akan maju selangkah lagi untuk mengisi keingintahuan barunya. Kalau ini diteruskan dia akan menjadi orang yang terpelajar yang tidak pernah berhenti untuk belajar, karena dia butuh, bukan butuh ijazah. Akan banyak muncul inovasi-inovasi baru dari manusia-manusia seperti ini. Mereka akan menjadi motor bagi kemajuan peradaban bangsanya.
Pada tulisan saya sebelumnya, saya tidak pernah mengatakan bahwa langkah Nadiem Makarim ini tepat dan akan berhasil untuk Indonesia, karena saya tidak tahu persis situasi pendidikan di Indonesia beserta birokrasinya yang bisa buat Thanos mimisan. Yg saya tahu, hasilnya selama ini hancur lebur dan kita sudah ketinggalan jauh dari negara-negara sekeliling.
Saya tidak mengerti, bobroknya pendidikan di Indonesia itu disebabkan oleh buruknya strategi pendidikan dari negara, atau memang kebodohan yang sudah mengendap berdekade-dekade yang menyebabkan timbul strategi pendidikan yg morat-marit. Rantai kebodohan ini harus diputus.
Setidaknya Nadiem Makarim sudah berani untuk mencoba memotong rantai kebodohan yang dibiarkan selama berdekade-dekade terutama oleh menteri-menteri pendidikan sebelum-sebelumnya yang nggak mengerti tentang pendidikan atau memang nggak berniat untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Dia harus mulai dari satu titik dan tidak mungkin lagi menunggu sampai semua siap. Akan sukses kah dia ? He better be. Kalau nggak bukan cuma koleksi wacana mangkrak bangsa kita akan tambah satu, tapi kali ini taruhannya nasib generasi mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar