Ada Neo Feodalisme di Dunia Pendidikan ?
- Maaf, tulisan ini tidak untuk menyinggung siapapun.
Saya sering menemukan contoh komentar di grup media sosial (medsos), terutama WA, seperti : "Terima kasih infonya Pak Doktor". Padahal yang punya gelar sepertinya merasa risih disebut doktor oleh temannya itu, bahkan dia berkomentar balik , "Jangan pangil doktor, panggil Budi saja". Tetapi ada juga yang menuliskan gelar doktor (walaupun belum lulus S3) di depan nama medsosnya , berharap agar temannya selalu menyebutkan kata doktor di depan namanya. " Hitung-hitung do'a ," katanya.
Cerita unik kawan saya, Pak Wan, beliu memasang papan nama di depan rumahnya lengkap dengan gelar doktor. Tetiba suatu hari ada ibu yang membawa anaknya dan ingin berobat ke beliau , kejadian ini tidak hanya sekali, sampai istrinya marah-marah dengan kejadian itu. Akhirnya beliau sadar dan membuang papan nama tersebut.
Bahkan ada cerita kawan yang agak sedikit sadis (menyedihkan) , ada tetangganya, seorang yang sudah lulus S3, dia selalu tak mau datang ke acara disekitar rumahnya, dikarenakan yang mengundang tidak menuliskan gelarnya itu. Cerita paling menyedihkannya dia tak mau menengokan kepalanya ke sipenanya kalau tidak menyebutkan gelar doktornya.
"Apasih sulitnya mengucapkan kata doktor di depan nama saya?
"Tahu nggak, saya sudah habis uang yang setara mobil mewah untuk meraih gelar doktor, Anda cuma menyebutkan gelar doktor saja, gitu aja repot".
Saking pentingnya gelar akademik itu, tidak sedikit orang yang selalu mencantumkan gelar akademik di berbagai kesempatan. Padahal setahu saya, gelar akademik itu dituliskan dalam kondisi tertentu saja. Misalnya di forum-forum ilmiah, di kegiatan akademisi, atau di kegiatan lain yang berkaitan dengan gelar yang disandangnya. Sebagai contoh, kamu mencantumkan gelar Master Hukum ketika didaulat jadi narasumber seminar hukum. Itu baru pas. Lain cerita kalau kamu mencantumkan gelar yang sama di isian formulir tes swab PCR.
- Ada neo feodalisme berwujud gelar akademik di dunia pendidikan?
Jika kita tilik dalam sistem sekolah, gelar akademik itu tidak lain semacam penjelasan bahwa sang penyandang gelar akademik telah tuntas menamatkan sekolahnya. Sebuah contoh gelar akademik adalah doctorandus (drs) yang menjelaskan bahwa sang penyandang gelar adalah kandidat doktor.
Bagi sebagian orang, punya gelar akademik adalah sesuatu yang bisa dibanggakan. Apalagi kalau gelarnya itu panjang berderet-deret. Semakin panjang gelarnya, semakin tinggi rasa bangga dan percaya dirinya. Maklum, enggak semua orang bisa menempuh pendidikan tinggi, yang paling penting, sekolah itu mahal. Makanya, gelar akademik itu bisa jadi alat buat menaikkan status sosial seseorang di masyarakat. Bila telah menyandang gelar akademik seabrek atau strata yang lebih tinggi maka seolah-olah orang yang gelarnya lebih sedikit atau rendah darinya tidak sepadan lagi.
Kalau kita membaca bukunya Paulo Freire berjudul “Pendidikan yang Membebaskan”. Menyiratkan supaya sikap feodalismenya berangsur-angsur terkikis. Ambil contoh, Amartya Sen, Joseph E. Stiglizt, Elinor Ostrom, dan Paul Krugman, semuanya pemenang Nobel Ekonomi. Mereka menulis buku nyaris tanpa mencantumkan gelar akademiknya.
Feodalisme di negeri ini sejatinya belum berakhir, masih tersisa di pelbagai tingkatan masyarakat yang akan menjadi onak duri dalam bermasyarakat. Pendidikan kita tak bakal bergerak maju jika feodalisme-hegemonik masih mengkultur dan bercokol. Ini sama artinya kita hidup dalam dunia kolonialisme berlabel pendidikan !
Sumber : https://s.id/1TNFC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar