aminherwansyah

Peran Pendidik dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran.

Blog Amin Herwansyah | 10 Juli 2024

Peran Pendidik dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran. 


Beberapa aspek penting yang mempengaruhi kinerja guru dalam memberikan dukungan sosial emosional bagi murid dalam proses pembelajaran dan menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan menyenangkan. 

Beberapa konsep penting yang akan dibahas dalam bagian ini adalah : 

  1. Disiplin Positif
  2. Pembelajaran Sosial Emosional
  3. Pola Pikir Bertumbuh (growth mindset)
A. Disiplin Positif

Memaknai Disiplin
Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Indonesia yang terkenal, memiliki pandangan khusus tentang disiplin yang berbeda dari pemahaman konvensional. Menurutnya, disiplin bukan hanya tentang ketaatan pada aturan atau kepatuhan secara kaku, melainkan tentang pengembangan kesadaran dan tanggung jawab individu.
Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, disiplin harus diterapkan secara humanis dan berorientasi pada pembentukan karakter. Ini berarti disiplin harus melibatkan pemahaman, kesadaran diri, dan keinginan intrinsik untuk melakukan yang benar, bukan sekadar mematuhi perintah dari luar. Beliau menekankan pentingnya pendidikan yang memanusiakan manusia, yang mencakup kebebasan yang bertanggung jawab dan otonomi pribadi dalam proses pembelajaran.

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa :
“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka. 
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,  Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)

Jika disiplin dimaknai sebagai kemampuan untuk mengatur diri sendiri, maka guru perlu membekali siswanya dengan modal untuk mampu mengatur diri sendiri, atau boleh dikatakan memiliki motivasi internal.

Motivasi berperilaku
Setiap orang berperilaku karena digerakkan oleh motivasi tertentu. Kita mengenalnya sebagai motivasi eksternal dan motivasi internal. Motivasi yang berasal dari luar atau motivasi eksternal  dapat berupa :
  1. Motivasi untuk menghindari hukuman, atau 
  2. Motivasi untuk mendapatkan imbalan. 
Motivasi eksternal semakin kuat apabila guru menggunakan pendekatan hukuman dan hadiah untuk memperoleh kepatuhan siswa. Alfie Kohn (1993)  mengkritik penggunaan hadiah sebagai alat motivasi, baik di sekolah, tempat kerja, maupun di rumah. Ia berpendapat bahwa hadiah merusak motivasi intrinsik, yaitu keinginan untuk melakukan sesuatu karena itu menarik atau bermakna, bukan karena ingin mendapatkan hadiah. Kohn menunjukkan bahwa hadiah cenderung mengubah perilaku hanya dalam jangka pendek dan bisa merusak hubungan serta menghambat perkembangan tanggung jawab dan inisiatif pribadi.

Penggunaan hukuman juga dapat mengurangi motivasi intrinsik anak. Anak-anak yang sering dihukum mungkin lebih termotivasi oleh keinginan untuk menghindari hukuman daripada oleh pemahaman intrinsik tentang nilai dari perilaku yang baik. Ini dapat menghambat perkembangan tanggung jawab pribadi dan inisiatif.

Disiplin tidak dapat dimaknai secara sempit sebagai perilaku patuh pada aturan. Disiplin perlu dimaknai lebih luas dan mendalam, sebagai kemampuan untuk mengatur diri sendiri agar dapat mencapai tujuan pribadi. 

Pendekatan  disiplin positif adalah pendekatan  yang bertujuan menanamkan nilai-nilai kebajikan universal pada murid tanpa kekerasan, ancaman, hukuman, maupun hadiah sehingga terbentuk motivasi intrinsik dari murid dalam berperilaku positif. Guru membimbing saat murid melakukan kesalahan sehingga murid dapat belajar dari kesalahannya untuk menjadi individu yang lebih baik. Konsekuensi diberikan sesuai peraturan sekolah yang merupakan konsekuensi logis dari kesalahan murid.

Dengan kata lain, disiplin positif adalah pendekatan yang menekankan pengajaran dan penguatan perilaku yang diinginkan melalui interaksi yang penuh hormat dan mendukung proses tumbuh kembang murid, bukan melalui hukuman yang keras. 

Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Nilai-nilai tersebut bersifat universal, dan lintas bahasa, suku bangsa, agama maupun latar belakang.

Setiap perilaku/perbuatan memiliki suatu tujuan. (Dr. William Glasser pada Teori Kontrol, 1984)

Dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan.  (Diane Gossen, 1998) 

Nilai-nilai kebajikan yang ingin dicapai oleh setiap anak Indonesia bisa kita kaitkan dengan nilai-nilai luhur yang mendasari kelima sila dalam Pancasila.

Konsep inti dari disiplin positif mencakup:
  1. Menghargai Martabat dan Hak Siswa: Disiplin positif menghormati martabat siswa dan hak mereka untuk belajar dalam lingkungan yang aman dan mendukung tumbuh-kembang siswa.
  2. Pengembangan Keyakinan akan Nilai-nilai Kebajikan Mendorong siswa untuk mengembangkan dan menguatkan keyakinan akan nilai-nilai kebajikan seperti pengendalian diri, tanggung jawab, kejujuran, dan empati.
  3. Pendekatan Restoratif: Mengatasi pelanggaran dengan memperbaiki hubungan dan kerugian yang terjadi, mendorong pemahaman dan tanggung jawab.
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat. Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka ingin menjadi (tujuan mulia), dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Gossen; 2004)

Beberapa teori yang mendasari Disiplin Positif diantaranya :
  1. Teori Konstruktivisme Sosial: Teori Lev Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan kognitif dan emosional, disiplin positif menggunakan dialog dan kolaborasi untuk mengatasi masalah perilaku.
  2. Teori Psikologi Humanistik: Carl Rogers dan Abraham Maslow menekankan pentingnya lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan pribadi, dan disiplin positif berusaha menciptakan lingkungan yang mendukung kebutuhan dasar siswa untuk dihargai dan diakui.
  3. Teori Pilihan William Glasser yang mendasari disiplin positif dikenal sebagai Choice Theory, yang menekankan bahwa perilaku manusia adalah hasil dari pilihan individu yang dibuat untuk memenuhi lima kebutuhan dasar: kelangsungan hidup, cinta dan rasa memiliki, kekuasaan, kebebasan, dan kesenangan.
Glasser berpendapat bahwa semua perilaku adalah upaya untuk memenuhi salah satu atau lebih dari kebutuhan ini dan bahwa individu memiliki kendali penuh atas pilihan mereka.

Dalam konteks disiplin positif, Choice Theory mengajak guru untuk memahami bahwa siswa berperilaku untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan dengan menciptakan lingkungan yang mendukung pemenuhan kebutuhan ini, guru dapat mendorong perilaku positif dan motivasi intrinsik. Pendekatan ini menekankan tanggung jawab pribadi, hubungan yang kuat dan penuh empati, serta penguatan positif, menciptakan suasana belajar yang harmonis dan produktif.

Implementasi Penguatan Disiplin Positif

Implementasi disiplin positif di sekolah berfokus pada menciptakan lingkungan yang mendukung, inklusif, dan menghormati, yang membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang penting. Berikut adalah langkah-langkah utama dalam mengimplementasikan disiplin positif di sekolah:

1. Membangun  Kesepakatan Bersama
Membangun nilai-nilai kebajikan universal dapat dilakukan dengan mengajak siswa secara kolaboratif menyepakati nilai-nilai universal yang ingin dijadikan dasar berperilaku di kelas. Kesepakatan ini bisa menjadi rujukan bersama bagi siswa dan guru untuk merefleksikan perilaku yang diharapkan maupun perilaku yang tidak diharapkan. 

Guru dapat mengajak siswa berdiskusi bersama untuk membahas bentuk nyata/perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini.  Kalimat yang digunakan harus jelas, mudah dimengerti, dan difokuskan pada perilaku positif. Misalnya, daripada mengatakan "Jangan berteriak," gunakan "Bicaralah dengan suara tenang."

2. Membangun Hubungan yang Kuat
Penerapan disiplin positif membutuhkan modal utama berupa hubungan yang baik antara guru dan siswa. Guru perlu berusaha mengenal setiap siswa, memahami kebutuhan dan minat mereka. Guru yang dapat menunjukkan empati dan memahami perasaan dan pengalaman siswa akan membuat siswa menaruh rasa percaya pada guru. 

Hubungan baik dan saling percaya akan membuat guru dan siswa tidak hanya dapat membuat guru dan siswa dapat bercakap santai di waktu luang, terlebih dapat membuat guru dan siswa berdialog dalam proses belajar maupun dalam peristiwa-peristiwa ketika guru perlu menguatkan perilaku siswa melalui umpan balik maupun restitusi. 

3. Menggunakan Penguatan Positif
Jika tidak menggunakan penghargaan atau hadiah, apakah perilaku positif siswa tidak perlu mendapatkan respon? Guru dan orang tua tetap perlu memberikan umpan balik pada perilaku positif sehingga siswa tahu perilaku apa yang diharapkan darinya. 

Guru dapat memberikan umpan balik berupa apresiasi. Apresiasi tidak hanya diberikan kepada siswa yang terbaik, melainkan pada semua siswa. Apresiasi perlu diberikan secara spesifik dan tulus. Misalnya,

 “Saya sangat menghargai cara kamu membantu teman, tadi. “

“Terima kasih sudah membuang sampah yang terjatuh, meski itu bukan sampahmu. Kamu memberi contoh baik tentang bagaimana bertanggung jawab. “

Penguatan positif lain juga dapat berupa memberi kepercayaan/tanggung jawab tambahan, atau kegiatan menyenangkan. 

4. Pendekatan Restoratif
Ketika terjadi pelanggaran aturan, fokuslah pada pemulihan hubungan dan pemecahan masalah. Gunakan percakapan restoratif  untuk membantu siswa memahami dampak tindakan mereka dan bagaimana memperbaikinya.

Dalam kasus yang lebih serius, adakan konferensi restoratif yang melibatkan semua pihak yang terlibat untuk membahas dampak dan mencari solusi bersama.

Dalam pendekatan restoratif, siswa yang melakukan kesalahan tetap ditempatkan sebagai subjek. Guru dapat menginisiasi dialog untuk mencari tahu alasan siswa berperilaku, mengajak siswa mencari solusi untuk memecahkan masalah, serta mendiskusikan nilai-nilai yang dilanggar atau perlu dikuatkan. 

Implementasi disiplin positif memerlukan komitmen dari seluruh komunitas sekolah, termasuk guru, staf, siswa, dan orang tua. Dengan pendekatan yang terintegrasi dan kolaboratif, disiplin positif dapat menciptakan lingkungan sekolah yang lebih harmonis dan produktif, membantu siswa berkembang tidak hanya secara akademis tetapi juga sosial dan emosional.
B. Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) 

Pembelajaran sosial emosional (PSE) adalah sebuah istilah mengenai cara seseorang mempelajari keterampilan sosial emosional seperti mengelola emosi, mengatasi stres, membuat keputusan, menyusun tujuan, dan membangun hubungan yang sehat. Pembelajaran sosial emosional adalah bagian tidak terpisahkan dari pendidikan dan perkembangan manusia. Bahkan seringkali keterampilan sosial emosional dianggap dapat tumbuh dengan sendirinya.  Padahal, keterampilan sosial emosional bukanlah hal yang dimiliki manusia secara alami (Mendel, 2023). Keterampilan sosial emosional bisa dan perlu dipelajari serta didukung untuk berkembang dalam lingkungan yang kondusif.

Melalui pembelajaran sosial emosional, seseorang  mendapatkan dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk mengembangkan identitas diri yang sehat, mengelola emosi, mencapai tujuan pribadi maupun tujuan bersama, berempati pada orang lain, memelihara relasi yang sehat serta membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Kerangka Pembelajaran Sosial Emosional 
Salah satu kerangka yang paling banyak digunakan untuk memahami Pembelajaran Sosial Emosional adalah kerangka CASEL (Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning) yang memperkenalkan Pembelajaran Sosial Emosional lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Ada lima area penting yang saling berhubungan, yaitu : 

1. Kesadaran Diri (Self-Awareness)
  • Pengertian: Kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi sendiri, serta bagaimana emosi tersebut mempengaruhi pikiran dan perilaku.
  • Komponen: Termasuk kesadaran diri emosional, pengakuan terhadap kekuatan dan kelemahan pribadi, serta memiliki rasa percaya diri dan pandangan yang realistis tentang diri sendiri.
2. Pengelolaan Diri (Self-Management)
  • Pengertian: Kemampuan untuk mengatur emosi, pikiran, dan perilaku dalam situasi yang berbeda.
  • Komponen: Mencakup pengendalian diri, pengelolaan stres, motivasi diri, penetapan tujuan, dan keterampilan organisasi.
3. Kesadaran Sosial (Social Awareness)
  • Pengertian: Kemampuan untuk memahami dan menunjukkan empati terhadap orang lain, termasuk mereka yang berasal dari latar belakang dan budaya yang berbeda.
  • Komponen: Mencakup perspektif sosial, pengakuan terhadap norma-norma sosial, dan mengidentifikasi serta menggunakan sumber daya dukungan yang ada di keluarga, sekolah, dan komunitas.
4. Keterampilan Berelasi (Relationship Skills)
  • Pengertian: Kemampuan untuk membangun dan memelihara hubungan yang sehat dan saling mendukung.
  1. Komponen: Termasuk komunikasi yang jelas, mendengarkan aktif, kerjasama, negosiasi konflik, serta mencari dan menawarkan bantuan ketika dibutuhkan.
5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab (Responsible Decision-Making)
  • Pengertian: Kemampuan untuk membuat pilihan yang konstruktif dan penuh pertimbangan mengenai perilaku pribadi dan interaksi sosial berdasarkan standar etika, keselamatan, dan norma sosial.
  • Komponen: Termasuk mengidentifikasi masalah, menganalisis situasi, mengevaluasi konsekuensi dari berbagai tindakan, dan mempertimbangkan kesejahteraan diri dan orang lain.
Lima hal ini dapat dipelajari baik oleh anak-anak maupun orang dewasa di berbagai konteks budaya. Meskipun demikian, tidak ada satu cara yang sama dan seragam untuk melakukan pembelajaran sosial emosional ini. Kita perlu memperhatikan konteks di setiap tempat, maupun di setiap sekolah.

Pembelajaran sosial emosional menurut CASEL, dilakukan secara kolaboratif melalui kemitraan sekolah, keluarga, dan komunitas untuk menciptakan lingkungan dan pengalaman belajar yang penuh rasa percaya, bermakna dan memberi kesempatan untuk bertumbuh bagi setiap siswa.

Pembelajaran Sosial Emosional  memerlukan guru yang tidak hanya mampu mengajarkan kompetensi PSE  kepada siswa, tetapi juga telah mengembangkan kompetensi sosial emosional pada dirinya sendiri. Ada beberapa alasan mengapa hal ini sangat penting:

Pertama, dalam Pembelajaran Sosial Emosional, guru perlu menjadi teladan. Sehari-hari siswa akan melihat cara guru mengelola diri, mengambil keputusan yang bertanggung jawab, berempati, dan mengembangkan relasi yang sehat.  Guru akan memberi contoh nyata tentang bagaimana menerapkan PSE dalam kehidupan sehari-hari. 

Untuk mulai melakukan Pembelajaran Sosial Emosional di kelas atau di sekolah,  salah satu fondasi penting yang perlu dibangun adalah hubungan positif antara guru dan siswa. Guru yang memiliki kesadaran sosial dan keterampilan berhubungan yang kuat dapat membangun hubungan yang suportif dan penuh rasa hormat dengan siswa, yang mendukung pembelajaran yang lebih baik.

Guru yang memiliki kesadaran diri yang baik mampu mengenali emosi dan bias pribadi, serta bagaimana hal-hal tersebut mempengaruhi interaksi mereka dengan siswa. Maka guru perlu menjadi pribadi yang reflektif, sehingga ia dapat terus mengembangkan dan menyesuaikan strategi pengajaran mereka untuk memenuhi kebutuhan sosial emosional siswa secara lebih efektif. 

Kompetensi sosial emosional yang dimiliki guru juga akan membantunya mengelola kelas dengan cara yang positif dan konstruktif. Dengan keterampilan pengelolaan diri dan pengambilan keputusan yang baik, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang teratur dan kondusif, mengurangi perilaku negatif, dan meningkatkan keterlibatan siswa.

Guru juga perlu menyadari bahwa mengajar adalah profesi yang menuntut dan rentan terhadap stres. Kompetensi sosial emosional membantu guru mengatasi stres dan menjaga kesejahteraan mereka sendiri. Guru yang mampu mengelola stres dengan baik lebih mampu memberikan perhatian penuh kepada siswa, mempertahankan energi dan motivasi dalam mengajar, dan menjaga lingkungan belajar yang positif.

Guru tidak tumbuh di ruang hampa atau dapat mengembangkan diri sendiri tanpa dukungan dari lingkungan tempat ia tinggal atau bekerja. Sebagai asesor, Bapak dan Ibu juga dapat melihat bagaimana implementasi pengembangan guru untuk menumbuhkan kompetensi sosial emosional melalui : 
  1. Pelatihan dan Pengembangan Profesional. Menyediakan pelatihan yang berfokus pada pengembangan kompetensi sosial emosional untuk guru, termasuk kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
  2. Pendekatan Berbasis Sekolah. Mengintegrasikan pengembangan PSE  untuk guru dalam budaya dan kebijakan sekolah, memastikan bahwa semua anggota staf memahami pentingnya dan memiliki dukungan untuk mengembangkan kompetensi ini.
  3. Dukungan dan Supervisi Berkelanjutan. Memberikan dukungan berkelanjutan melalui supervisi, pendampingan, dan komunitas praktik di mana guru dapat berbagi pengalaman dan strategi untuk mengembangkan dan menerapkan kompetensi PSE.
Dengan mengembangkan kompetensi sosial emosional mereka sendiri, guru lebih siap untuk mengajarkan dan mendukung perkembangan sosial emosional siswa, menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat, lebih produktif, dan lebih mendukung.

Implementasi pembelajaran sosial emosional
Implementasi pembelajaran sosial emosional dalam kurikulum dan strategi kelas sehari-hari dapat dilakukan dengan cara yang holistik dan sistematis. Guru dapat mengintegrasikan pembelajaran sosial emosional secara eksplisit dalam berbagai mata pelajaran dan kegiatan pembelajaran. Kurikulum harus mencakup program SEL terstruktur yang mengajarkan keterampilan seperti kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Misalnya, dalam pelajaran bahasa, siswa dapat diminta menulis refleksi pribadi tentang perasaan mereka dalam situasi tertentu atau menganalisis karakter dalam literatur untuk memahami perspektif dan emosi mereka. Dalam pelajaran sains, siswa dapat bekerja dalam kelompok untuk memecahkan masalah, yang mengajarkan mereka tentang kerjasama dan komunikasi. Dalam pelajaran ilmu sosial, guru  dapat mengajarkan empati dan keadilan sosial melalui diskusi sejarah dan isu-isu kontemporer. Dengan memasukkan PSE secara eksplisit ke dalam kurikulum, siswa dapat melihat relevansi keterampilan ini dalam berbagai konteks dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Rutinitas harian di kelas juga memainkan peran penting dalam implementasi PSE.  Guru harus menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif di mana semua siswa merasa dihargai dan didengarkan. Hal ini dapat dilakukan melalui rutinitas seperti memulai dan mengakhiri hari dengan refleksi singkat tentang pengalaman dan perasaan siswa. Dalam kesempatan ini  siswa diberi kesempatan untuk berbagi perasaan mereka dan mendengarkan satu sama lain dalam suasana yang aman dan mendukung. Aktivitas ini membantu siswa mengembangkan kesadaran diri dan empati. 

Selain itu, guru dapat menggunakan momen pengajaran untuk menyoroti dan mengajarkan keterampilan PSE secara langsung, seperti teknik pengelolaan stres saat menghadapi ujian atau cara berkomunikasi secara efektif dalam diskusi kelompok. Pengajaran eksplisit ini memastikan bahwa siswa tidak hanya belajar keterampilan akademis tetapi juga keterampilan yang penting untuk kesejahteraan emosional dan sosial mereka. Guru juga berperan dalam menggunakan strategi pengelolaan kelas yang positif, dan memberikan apresiasi serta umpan balik yang membangun.

Dampak Pembelajaran Sosial Emosional bagi Siswa
  1. Meningkatkan kesejahteraan diri (well being) siswa. Pembelajaran sosial emosional  memiliki manfaat yang sangat signifikan bagi siswa, salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan emosional dan mental. Melalui PSE, siswa diajarkan untuk mengenali dan memahami emosi mereka sendiri, serta mengembangkan keterampilan dalam mengelola stres dan kecemasan. Kemampuan ini sangat penting dalam membantu siswa menghadapi berbagai tantangan yang mereka temui di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memiliki keterampilan pengelolaan diri yang baik, siswa dapat lebih mudah menjaga kesehatan mental mereka, mengurangi risiko masalah seperti depresi dan kecemasan, dan meningkatkan rasa percaya diri serta kesejahteraan umum.
  2. Peningkatan kemampuan akademis. Manfaat kedua dari pembelajaran sosial emosional adalah peningkatan kemampuan akademis. Siswa yang memiliki keterampilan sosial dan emosional yang baik cenderung lebih mampu untuk fokus pada tugas akademik mereka, bekerja dengan efektif dalam kelompok, dan mengelola waktu serta tugas-tugas mereka dengan lebih baik. Penelitian menunjukkan bahwa PSE dapat meningkatkan motivasi belajar, keterlibatan dalam proses belajar, dan hasil akademik secara keseluruhan. Dengan keterampilan seperti pengelolaan diri, kesadaran sosial, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, siswa dapat mengatasi hambatan belajar lebih efektif dan memaksimalkan potensi akademis mereka.
  3. Memperbaiki hubungan sosial dan mengurangi perilaku bermasalah. Manfaat ketiga dari pembelajaran sosial emosional adalah peningkatan hubungan sosial dan mengurangi perilaku bermasalah. PSE  membantu siswa mengembangkan keterampilan interpersonal seperti empati, komunikasi yang efektif, dan kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain. Keterampilan ini sangat penting dalam membangun hubungan positif dengan teman sebaya, guru, dan anggota komunitas sekolah lainnya. Selain itu, PSE dapat membantu mengurangi perilaku negatif seperti perundungan, agresi, dan konflik dengan mengajarkan siswa cara yang konstruktif untuk mengelola perbedaan dan menyelesaikan konflik. Dengan lingkungan sosial yang lebih positif dan mendukung, siswa merasa lebih aman dan nyaman di sekolah, yang pada akhirnya mendukung pembelajaran dan perkembangan mereka secara keseluruhan.
C. Pola Pikir Bertumbuh (Growth Mindset)
Pola Pikir Bertumbuh atau Growth Mindset pertama kali diperkenalkan oleh Carol Dweck. Ia mengenalkan dua istilah pola pikir yaitu  Pola Pikir Bertumbuh (growth mindset) dan Pola Pikir Tetap (fixed mindset) lewat bukunya yang berjudul “Mindset: The New Psychology of Success”. 

Pola Pikir Bertumbuh (PPB) atau growth mindset adalah lawan dari Pola Pikir Tetap (PPT). PPB adalah pola pikir seseorang yang menyadari bahwa kemampuan atau bakat yang dimilikinya sejak kecil merupakan  kemampuan dan bakat yang dapat terus berkembang dengan kerja keras dan dedikasi yang dilakukannya. Mereka yang memiliki pola pikir berkembang ini selalu berusaha untuk terus belajar dan memahami dunia di sekelilingnya.Pengembangan bakat tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan kerja keras, menggunakan strategi yang tepat saat bekerja atau melakukan tugas, hingga mendengarkan masukan dari orang lain.

Hal itu sangat berbeda dengan  PPT (fixed mindset) yang lebih mengandalkan pada bakat untuk meraih kesuksesan. Carol Dweck menyebutkan bahwa PPT adalah keyakinan bahwa  bakat dan kecerdasan bersifat tetap. Jadi anak yang merasa tak mampu dalam mengerjakan sebuah tugas akan menganggap dirinya bodoh dan memang begitulah kapasitas dirinya. Begitu juga dengan anak yang merasa dirinya pintar dan bisa mengerjakan tugas dengan baik lalu menganggap bahwa dirinya memang cerdas dan berbakat sehingga ia tidak perlu melakukan upaya apa pun untuk mengembangkan dirinya atau memperbaiki kinerjanya. Ia menganggap dirinya akan tetap cerdas dan berbakat dalam situasi dan kondisi apa pun. 

Hasil PISA 2018 memberikan wawasan penting tentang Pola Pikir  Berkembang (PPB)) di kalangan murid Indonesia. PISA, yang merupakan Program for International Student Assessment yang dilakukan oleh OECD, pada tahun 2018 untuk pertama kalinya memasukkan instrumen untuk mengukur keyakinan siswa tentang kelenturan kecerdasan.

Data dari hasil PISA menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia cenderung memiliki mindset tetap (fixed mindset) dibandingkan dengan mindset berkembang (growth mindset). Sebagian besar murid berusia 15 tahun di Indonesia tidak percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat berkembang dengan usaha dan belajar. Ini berdampak pada performa akademik mereka yang lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga dan negara berpendapatan menengah lainnya.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 60% siswa di Indonesia setuju atau sangat setuju dengan pernyataan bahwa kecerdasan adalah sesuatu yang tidak bisa diubah banyak, yang menunjukkan bahwa mayoritas siswa di Indonesia memiliki pola pikir tetap (fixed mindset). Ini kontras dengan mayoritas siswa di negara-negara OECD yang sebagian besar tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

Selain itu, PISA 2018 menemukan bahwa siswa yang memiliki pola pikir bertumbuh, dan  percaya bahwa kecerdasan serta kemampuan bisa ditingkatkan dengan usaha, cenderung memiliki kinerja akademik yang lebih baik, terutama dalam membaca. Siswa dengan pola pikir bertumbuh  di seluruh negara OECD mencetak 32 poin lebih tinggi dalam membaca dibandingkan dengan siswa yang memiliki pola pikir tetap, setelah memperhitungkan profil sosial-ekonomi siswa dan sekolah​.

Temuan ini menekankan pentingnya upaya pendidikan untuk mengubah keyakinan siswa Indonesia tentang kecerdasan dan kemampuan, serta menunjukkan potensi dampak positif dari mindset berkembang terhadap motivasi, efikasi diri, dan hasil akademik​.

Dalam proses pembelajaran, guru memiliki peran penting untuk menumbuhkan pola pikir bertumbuh pada murid-muridnya.  Guru yang memahami dan menerapkan konsep PPB dapat memberikan dukungan sosial emosional yang dibutuhkan murid.   

Guru perlu menciptakan suasana belajar yang aman dan menyenangkan sehingga setiap murid merasa dihargai, termotivasi dan didukung dalam perjalanan belajar mereka. Dalam suasana belajar yang aman dan menyenangkan tersebut, murid-murid akan belajar bahwa :
  1. Kegagalan adalah hal yang wajar. Gagal dalam proses belajar adalah hal yang wajar. Mungkin saja murid merasakan emosi seperti marah, kecewa atau sedih ketika mengalami kegagalan. Guru dapat membantu siswa menerima dan memproses perasaannya, kemudian memfasilitasi siswa untuk belajar dari kegagalannya dan mencoba kembali. Dalam penerapannya, guru dapat memberikan umpan balik konstruktif yang fokus pada usaha dan proses, bukan hanya hasil akhir. Misalnya, memuji siswa untuk kerja keras mereka dan strategi yang digunakan, bukan hanya nilai yang diperoleh.
  2. Tidak takut untuk belajar dan mencoba hal baru. Dalam lingkungan aman dan menyenangkan yang terbuka pada kegagalan sebagai bagian dari proses belajar, hal baru bukanlah hal yang menakutkan. Hal baru justru menjadi sesuatu yang menarik untuk dijelajahi dan dipelajari. Di dalam lingkungan belajar yang aman dan menyenangkan, murid akan bersikap terbuka dan tidak takut mencoba hal baru. 
  3. Membangun ketangguhan dan daya juang (Resilience). Konsep PPB menekankan bahwa kesulitan dan tantangan adalah kesempatan untuk berkembang. Guru dapat membantu siswa  mengembangkan ketangguhan dan daya juang dengan mendorong mereka untuk melihat tantangan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang. Misalnya, dengan mengajarkan siswa tentang pentingnya ketekunan dan bagaimana menghadapi rintangan dengan sikap positif. Guru bisa memberikan contoh nyata dari orang-orang yang berhasil melalui upaya gigih.
  4. Menerima dan menghargai umpan balik. Orang dengan pola pikir bertumbuh bisa menerima dan menghargai umpan balik dari orang lain. Mereka dapat fokus pada masukan yang membantunya untuk memperbaiki diri dan mengembangkan kemampuannya. 
  5. Menumbuhkan motivasi intrinsik. Dalam PPB,  ada keyakinan bahwa usaha dan dedikasi adalah kunci untuk mencapai keberhasilan. Penerapan disiplin positif yang konsisten akan meningkatkan motivasi intrinsik murid,  sehingga murid terdorong untuk belajar  pengetahuan dan pengembangan diri, bukan hanya untuk mendapatkan nilai. Guru dapat mendorong siswa untuk menetapkan tujuan belajar pribadi dan merayakan kemajuan mereka dalam mencapai tujuan tersebut, bukan hanya hasil akhir.
Pemanfaatan PPB di kelas memiliki potensi besar untuk meningkatkan motivasi dan pembelajaran siswa, namun terdapat beberapa miskonsepsi umum yang dapat menghambat efektivitasnya jika tidak dipahami dengan benar. Berikut adalah beberapa miskonsepsi yang mungkin dilakukan guru ketika mencoba menerapkan growth mindset di kelasnya:

Sumber : Pelatihan Asesor BAN PDM Jabar 2024




Tidak ada komentar:

Posting Komentar